Monday 17 February 2014

Kasus Psikologi : Fenomena Terlambat Nikah

Jomblo merupakan istilah yang ditujukan bagi orang yang masih sendiri dan tak mempunyai pasangan. Istilah ini popular digunakan para remaja dan masa dewasa untuk mereka yang masih single. Lantas bagaimana dengan orang yang telah berusia lanjut namun belum memiliki pasangan ataupun menikah. Inilah kasus psikologi yang masih dianggap sebelah mata padahal menyimpan masalah yang tidak ringan. Kesendirian akan membuat orang menjadi lebih rentan terhadap stres.
Lebih Baik Menikah
Bagaimanapun keadaannya, menikah itu merupakan sesuatu yang harus diniatkan oleh semua orang. Kalau tidak ada niat untuk menikah, bagi seorang muslim, keadaan ini akan membuat orang tersebut dianggap bukan umat Nabi Muhammad saw. Menikah itu merupakan upaya menutup peluang berbuat dosa. Bila dosa terus ditumpuk maka akan ada kebinasaan manusia. Tidak bisa dibenarkan bahwa menikah itu membuat biaya hidup semakin mahal sehingga tidak perlu menikah tetapi malah memilih melakukan seks bebas.

Seks adalah salah satu kebutuhan manusia dan salah satu pintu masuknya setan dengan sangat mudah. Menjaga kemaluan itu tidak mudah. Banyak orang yang telah mengetahui hukum agama tetap melakukan zina karena adanya dorongan untuk melakukan seks. Bila seks ini dilakukan dengan baik, ada nilai yang tidak ternilai baik dari sisi psikologis, spiritual, hingga kesehatan yang akan membuat orang-orang yang melakukannya menjadi lebih sehat mental dan fisik.

Seks bisa menghidarkan dari gejala flu sehingga orang-orang yang mendapatkan seks dengan baik akan terlihat lebih sehat. Namun, tidak sedikit orang yang berganti pasangan seks karena ia tidak menikah atau ia tidak bahagia dengan pernikahannya. Mereka lebih memilih menikmati seks yang tidak halal daripada mendapatkan seks dengan kadar sebagai ibadah. Seks yang mereka lakukan pasti tidak akan terasa nikmat seratus persen. Apalagi bagi orang-orang yang sudah tahu hukum agama. Perasaan dikejar dosa pasti akan mengganggu hati dan jiwanya.

Inilah mengapa pernikahan yang baik itu dibutuhkan. Memang seharusnya ada sekolah khusus yang mempersiapkan seseorang siap untuk menikah. Kalau mereka sudah tahu apa yang akan dihadapi, paling tidak mereka tahu bagaimana mengatasi masalah yang akan dihadapi nantinya. Memang tidak mudah menjadi pasangan suami istri yang harmonis dan tidak ada gangguan sama sekali. Berbagai masalah yang ada di dalam maupun di luar rumah akan menjadi sesuatu yang memberatkan.

Istri yang main perasaan dan suami yang main logika ketika memecahkan masalah, bisa menjadi sesuatu yang mendatangkan masalah tersendiri kalau mereka tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Mungkin harus ada perjanjian yang membuat mereka ingat bahwa kehidupan ini betapapun beratnya harus dihadapi bersama. Film Marley and Me, bisa menjadi salah satu contoh bagaimana menghadapi masalah dalam rumah tangga.

Kalau setiap orang hanya memikirkan kepentingannya, tidak akan ada satu permasalahan. Namun, bila yang dikemukakan adalah kepentingan bersama, maka hal-hal yang akan membuat berat itu menjadi ringan. Tertawa dan tersenyum seharusnya menjadi salah satu fasilitas yang digunakan agar tidak membuat stres dan tekanan hidup menjadi penghalang untuk menjadi bahagia. Kalau masalah diikuti dengan tersenyum, maka tekanannya terasa ringan. Inilah yang membuat banyak orang menjadi sukses menghadapi masalah dalam pernikahannya.

Kalau hanya melihat masalah dari pasangan yang tidak bisa memecahkan masalah, pernikahan itu membuat banyak orang menjadi pesimis. Mereka menganggap bahwa menikah hanya akan menjadikan mereka masuk ke  dalam neraka dunia. Mereka tidak sanggup menghadapi perangai anak dan pasangannya yang banyak menuntut kesempurnaan. Tentu tidak ada yang sempurna karena hanya Tuhan yang maha sempurna. Pengaruh yang baik dari sebuah pernikahan akan membuat orang ingin segera menikah.

Sebaliknya, pengaruh yang tidak baik dari suatu pernikahan akan membuat orang merasa pernikahan hanya sebagai sesuatu yang memberatkan. Bahkan banyak yang tidak peduli dengan pernikahan. Padahal, pernikahan itu adalah taman surga. Rasa tidak percaya diri juga membuat banyak pria tidak sanggup melamar seorang wanita. Mereka merasa bahwa wanita itu banyak menuntut. Sedangkan wanita juga merasa bahwa laki-laki banyak maunya.

Ketakutan demi ketakutan membuat orang merasa bahwa pernikahan tidak memberi mereka apa-apa. Mereka tidak mau terlibat dan masuk ke dalam masalah pelik. Di negara Singapura, orang-orang yang telat menikah ini menjadi permasalahan negara. Bahkan ada perkumpulan dan organisasi khusus ynag dibuat agar orang-orang yang belum menikah dan tidak sempat untuk bersosialisasi bisa menemukan pasangannya. Banyak juga yang memilih internet sebagai fasilitas mencari pasangan.

Rasa tidak percaya dengan orang lain juga menjadi salah satu hal yang membuat orang merasa bahwa pernikahan ini hanya memberikan masalah. Kalau tidak menikah, bagaimana mempunyai anak yang sah dan halal. Padahal negara membutuhkan generasi penerus. Bila orang-orang muda Singapura lebih memilih melakukan seks bebas daripada melakukan seks yang sehat, maka suatu saat orang Singapura itu adalah orang-orang yang berasal dari negara lain dan bukan penduduk asli Singapura.

Jepang juga mempunyai masalah yang sama. Semakin banyak wanita yang tidak mau melahirkan. Mereka lebih memilih untuk tidak menikah. Kalaupun mereka menikah, malah ada yang memilih tidak mempunyai anak. Memang serba salah kalau menikah itu dipandang dari sisi logika saja. Harta itu memang bisa dicari walaupun besarnya rezeki itu bukan urusan manusia. Kalau manusia yang mengatur, pasti tidak akan cukup karena masing-masing ingin memiliki harta yang terbanyak. Untungnya ada Tuhan yang mengaturnya.

Fenomena terlambat nikah belakangan memperlihatkan kecenderungan yang makin berat. Dari segi jumlah, orang yang mengalami keterlambatan menikah terus meningkat secara signifikan, terutama di kota-kota besar. Kasus ini bukan hanya menimpa kaum laki-laki, namun tak sedikit pula para wanita yang mengalaminya. Bahkan kasus ini juga tak memandang profesi maupun latar belakangnya. Apalagi penyebab terjadinya kasus semacam ini cukup variatif.

Begitu juga dari segi umur, rata-rata mereka yang mengalami ‘nasib’ semacam ini boleh dikata telah berusia lewat dewasa, atau di atas 30 tahun. Bahkan tak sedikit orang yang telah berumur di atas 40 tahun yang juga belum menikah. Meski jumlah ataupun data mereka sulit diperoleh, namun besarnya kasus psikologi ini terlihat pada besarnya jumlah orang yang mendaftar di berbagai biro jodoh yang ada.

Pembiaran
Apa yang menarik dari fenomena terlambat menikah semacam ini ? Ada orang yang mengatakan bahwa masalah cinta atau jodoh lebih bersifat privat dan merupakan hak asasi yang tak boleh dicampuri orang lain. Tak sedikit pula yang menganggap masalah ini bukan problem ataupun sebuah kasus psikologi karena bersifat sangat manusiawi. Akibatnya, kasus-kasus terlambat menikah sering kali mengalami ‘pembiaran’ dan hanya bisa ditangani oleh orang yang bersangkutan. Padahal, ada banyak hal yang berkaitan dengan telat nikah ini.

Ada sejumlah alasan ataupun penyebab terjadinya kasus ‘lajang lapuk’ semacam ini. Di antaranya ada yang dikarenakan pengalaman atau masa lalu cintanya yang cukup berat sehingga memberikan trauma yang membekas dan tidak mudah disembuhkan. Ada yang disebabkan faktor fisik atau penampilan, ada pula akibat kurang pandai dalam bersosialisasi. Selain itu ada pula karena alasan mengejar karier, belum ada yang cocok, ataupun alasan lain yang lebih bersifat pribadi.

Tekanan Sosial
Anggapan semacam ini sebenarnya cukup berbahaya. Fenomena terlambat menikah, berhubungan dengan masalah psikologis, biologis, serta rasa aman sebagai warga negara. Tak sedikit para ‘jomblo telat’ ini yang mengalami tekanan ataupun rasa malu. Hal ini terjadi akibat pandangan minor masyarakat terhadap mereka. Tak jarang pula mereka merasa seperti dikucilkan dari komunitas sosial di sekitarnya. Bila tidak kuat, rasa depresi bisa berlangsung lama.

Sebuah penelitian yang dilakukan Ruang Sahabat Keluarga, sebuah lembaga konsultasi psikologi di Yogyakarta menemukan adanya semacam efek domino yang cukup berbahaya dari fenomena ini. Tak sedikit kasus ini menimbulkan tekanan psikologis dan depresi yang berat. Dan kasus ini makin berat dirasakan oleh kaum perempuan.

Selain pandangan minor dan tekanan sosial yang diterimanya, kaum perempuan ini mengalami ketakutan terhadap menurunnya kemampuan reproduksi seiring usianya yang terus bertambah. Akankah kita membiarkan masalah psikologi ini berkembangan menjadi problem sosial?


*NB : Reblog dari Anne Ahira

No comments:

Post a Comment